WEAR IT LIKE YOU MEAN IT!

Posted on 26 January 2017
by Sekepal Aspal

 Pernah dengar tentang Third Wave Coffee? Istilah ini digunakan untuk melabeli trend kopi yang sedang melanda dunia sejak awal 2000an dimana para penikmat dan produsen kopi menjadi lebih kritis untuk tau tentang asal muasal kopi yang mereka minum. Baik itu dari varietas kopi, lokasi perkebunan, proses pasca panen sampai rumah sangrai mana yang memproses dan roasting profile biji kopi. Disini kopi tidak hanya sekedar dianggap sebagai komoditas semata, tetapi menjadi sesuatu yang lebih kompleks seperti halnya wine dan (belakangan) craft beer. Apabila First Wave Coffee ditandai dengan meledaknya trend minum kopi, dimana kopi mulai menjadi sebuah kebutuhan esensial di tiap rumah, tetapi belum dibarengi dengan kualitas kopi yang baik dan penemuan kopi instan (bubuk). Sedangkan Second Wave Coffee ditandai dengan kualitas kopi sebagai bahan baku yang mulai membaik dan berkembangnya gerai-gerai kopi komersial seperti Starbucks dan Coffee Beans & Tea Leaf.

 

SEJARAH SINGKAT TREND RODA DUA DUNIA

Apa hubungannya trend kopi dengan budaya custom roda dua? Secara langsung sih mungkin ga ada, tetapi perkembangan trend budaya custom roda dua bisa dikatakan mirip dengan yang terjadi dengan kopi. Sejak pertama kali merebak di daratan Amerika dan Eropa di era 40-an – 50-an, budaya custom roda dua berangkat dari akar yang paling esensial yaitu sebagai bentuk pemberontakan kepada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat di masa itu, sekaligus juga sebagai wahana bersenang-senang pelepas penat para kaum muda di masa itu. Salah satu issue yang penting untuk dicatat juga bahwa faktanya banyak dari mereka adalah veteran perang yang setelah kembali ke komunitas malah dianggap sebagai outsiders oleh komunitas itu sendiri. Kondisi ekonomi dunia yang berantakan pasca perang dunia yang mengakibatkan sedikitnya peluang pekerjaan terutama bagi para generasi muda dan veteran perang. Di era ini lahirlah titik tolak budaya custom roda dua dunia, motor tidak hanya digunakan sebagai sarana transportasi belaka, tetapi menjadi sarana hiburan murah meriah. Di era itulah munculnya term “bobber“, dimana bagian body (tangki dan fender) motor-motor tersebut di potong (bobbed) atau diganti dan mencopot segala aksesoris yang dianggap tidak penting untuk mengejar tampilan yang lebih ringkas. Tujuan utamanya tidak lain untuk mengurangi bobot motor.

Seiring waktu dan perkembangan teknologi, gaya modifikasi dan peruntukannya pun turut berkembang. Tidak hanya pengaruh dari faktor-faktor internal di industri motor, tetapi juga pengaruh dari faktor eksternal dari sub kultur seperti seni rupa dan design, musik dan fashion juga berpengaruh pada perkembangan dan trend motor custom. Sebut saja pada era 70-an dimana trend modifikasi motor kala itu kental dengan nuansa psychedelic. Raked out front end, rabbit ear handlebar, King and Queen seat dan wild paint job menjadi signature look modifikasi motor di era itu. Signature look itu sendiri lekat dengan pengaruh musik rock and roll, gaya hidup flower generation dan asupan zat halusinogen dan psikotropika yang berlebihan. Selain itu era 60-an – 70-an di daratan Amerika juga marak diwarnai oleh bertumbuh kembangnya budaya Motorcycle Club 1% seperti Hells Angel, Vagos, Outlaws, dll.

Budaya roda dua sendiri memang unik, selain mengangkat nilai-nilai pemberontakan, di saat yang bersamaan juga memiliki daya tarik dan pengaruh yang cukup besar terhadap budaya lain di sekelilingnya. Contohnya pada musik dan fashion, adalah dua sub kultur yang tidak pernah kehabisan bahan inspirasi yang diserap dari budaya roda dua. Tidak hanya itu nilai-nilai pemberontakan dan kebebasan berekspresi yang ditawarkan budaya roda dua pun menjadi daya tarik tersendiri bagi para penganut gaya hidup roda dua yang diantaranya juga datang dari kalangan pesohor dunia. Nama-nama besar seperti Elvis Presley, Marlon Brando, James Dean, Steve McQueen dan Hunter S. Thompson dikenal sebagai penganut budaya roda dua yang taat. Terlepas dari predikat selebriti mereka, most of them are known as “the Hollywood bad boys”. Ketertarikan mereka akan dunia roda dua memang didasari akan kecintaan mereka mengendarai motor. Untuk saat ini golongan ini terwakilkan sebut saja oleh nama-nama seperti Mickey Rourke, James Hetfield, Gilby Clarke, Ewan McGregor, Keanu Reeves dan Brad Pitt to name a few.

Maju ke era 80-an, era dimana banyak hal yang (terlihat) janggal merebak dan menjadi trend penanda kebebasan berekspresi. Trend fashion androgyny, musik disco dan new wave, big hair style and God knows what else. Di dalam perkembangan budaya roda dua sendiri bisa dibilang terjadi pergeseran value yang tidak kalah absurd dengan trend lain di era ini. Era tersebut adalah era transisi dari gaya motor custom 70-an. Late 70’s survivor chopper masih banyak di jalanan, sementara para produsen (terutama produsen Eropa dan Jepang) berlomba memproduksi motor yang teknologi dan designnya banyak mengacu pada ajang balapan sirkuit. Disini, motor tipe sport bike yang mengedepankan performa mesin mulai bertumbuh pesat. Value sebuah motor pun tidak hanya lagi sekedar bentuk transportasi, tetapi mulai memiliki nilai prestis tersendiri. Budaya roda dua yang selama ini dinilai lekat dengan pemberontakan, outlaw dan cenderung bersifat eksklusif. Entah karena motor sebagai simbol kebebasan atau karena sifat eklusifitas komunitas roda dua. Di era ini juga kegiatan kriminalitas 1% MC seperti Hells Angels mulai dianggap serius, bahkan menjadi ancaman nomer 2 setelah rombongan La Cosa Nostra (Mafia Sisilia). Walaupun pada faktanya mereka bertumbuh subur di era 60-an – 70-an, tetapi tidak sampai di era 80an mereka mulai di kategorikan sebagai organized crime oleh FBI. Di sisi lain, budaya roda dua pun semakin menjadi sebuah komoditas budaya populer. Popularitas dan nilai prestis yang muncul banyak menarik golongan menengah ke atas untuk mencoba gaya hidup yang (sebenarnya) tidak selalu cocok dengan semua orang ini. Bahkan di kalangan selebriti pun semakin banyak yang terlihat “nyemplung” di dunia motor-motoran. Kita tidak sedang berbicara tentang para selebriti yang memang dikenal memiliki passion terhadap budaya roda dua bahkan sebelum budaya permotoran mulai naik menjadi bagian budaya arus utama. Tetapi ketika seorang Elizabeth Taylor terlihat aktif di sebuah motorcycle rally diatas Sportsternya, atau ketika Prince menggunakan motor sebagai salah satu props di live performance-nya, disitu terasa jelas bahwa sedang terjadi pergeseran value dari sebuah sub kultur yang tadinya lekat dengan nilai pemberontakan, ugal-ugalan dan kalangan kerah biru ini menjadi sesuatu yang keren dan memiliki nilai prestis tertentu.

 

THE MILLENNIALS TAKE OVER

Fast forward ke medio 2000-an, budaya roda dua, somehow has manage to take a another comeback to the spotlight of coolness. Yang unik dari budaya roda dua adalah, selain the nature of its culture and life style, the people and the object of affection itself, juga karena sub kultur ini sudah begitu tersebar dan berkembang puluhan tahun lamanya, budaya roda dua tidak pernah benar-benar hilang bak artis one hit wonder culun. It’s always there, dan untuk mereka para penganut yang taat, it was never about a trend, it’s more like a commitment, pilihan gaya hidup!! Hampir mirip dengan yang terjadi di era 80-an, budaya roda dua kembali bermain di ranah arus utama. Everybody wanted a piece of the action, everybody wanted to be a bad ass biker.

 

Sedikit berbeda dengan masa sebelumnya, kali ini eksploitasi dan exposure terhadap budaya roda dua dunia memang terbilang lebih massive. Untuk dampaknya terhadap pertumbuhan scene tentu saja ada dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang jelek, merugikan atau sell out. Sebaiknya malah para pelaku di scene ini harus bisa memanfaatkan moment ini untuk mengembangkan bidang apapun yang mereka geluti sampai ke titik maximal. Sehingga begitu “trend” arus utamanya mulai sepi, scene dan industrinya sudah bisa berjalan mandiri dan bisa mensejahterakan para pelakunya, apakah itu builder, bengkel bubut, brand apparel dan riding gear, media atau apapun yang terhubung baik langsung atau tidak langsung. Semua itu sah-sah aja kok, kalo ada yang ribut-ribut ngomong sell out karena terlibat dengan budaya arus utama, gue hampir bisa yakin 99.9% kalo orang itu bukan penggiat scene yang menggantungkan hidupnya dari pertumbuhan scene (roda dua) dan industrinya. Sekedar pengamat kesiangan atau penumpang yang ketinggalan kereta yang ingin terlihat berbeda dan (berharap) keren. Apakah orang-orang sell out itu dianggap hipster dan kemudian dibenci? Apakah kamu tau bahwa membenci hipsters itu adalah hal yang sangat hipster untuk dilakukan?

Memang harus ada batasan, tetapi selama semuanya bisa dijaga dalam porsi yang seimbang, semua pihak diuntungkan, gue pribadi merasa itu baik buat pertumbuhan industrinya. Justru sangat disayangkan apabila kita tidak bisa memanfaatkan momentum ini. Contoh paling dekat yang berhasil secara sukses memanfaatkan trend dunia dan pertumbuhan industrinya dan akhirnya mampu mengangkat scene-nya ke level berikutnya bisa dilihat di Jepang saat ini. Saat ini bisa dibilang para penggiat dan penikmat budaya roda dua di Jepang minimal bisa terhidupi dengan baik, hal ini bisa terjadi karena industrinya juga ikut berkembang.

Bagaimana tidak, dengan exposure gila-gilaan worldwide, arus informasi yang semakin mudah dan murah aksesnya, semuanya ingin terlihat keren dengan menjual image motorcycle culture and life style. Dari brand fashion high end, brand rokok, dari yang produknya nyambung, sampai yang tidak nyambung sama sekali. Semuanya ingin bisa di identikan dengan gaya hidup roda dua. Tidak sekedar menarik bagi kaum grassroots dan kerah biru, tetapi sudah bertumbuh lebih luas lagi. Pertumbuhan penikmat budaya roda dua sekaligus bergesernya profil demografis para penikmatnya juga yang menjadikan budaya roda dua saat ini adalah target market yang menggiurkan bagi para produsen. Seperti halnya yang dilakukan oleh pabrikan Harley Davidson dalam beberapa tahun belakangan ini, mereka sudah mulai mengalihkan fokus strategi penjualan mereka mengarah ke generasi millennial. Generasi ini sangat berbeda dengan rombongan Baby Boomers yang menjadi potential market HDMC di era 80-an – 90-an. Apabila golongan Baby Boomers sangat tertarik dengan teknologi-teknologi baru, maka para millennialist ini terlahir dengan teknologi di ujung jari mereka. Instead of fancy baggers, generasi millennial lebih tertarik dengan tampilan motor yang raw, stripped down dan bisa memberikan mereka keleluasan dalam mengekspresikan diri mereka. Point-point tersebutlah yang menjadi pertimbangan HDMC dalam meluncurkan campaign “Dark Custom” mereka beberapa tahun yang lalu. Dark Custom campaign menawarkan paket komplit tattoo, slick hair do, kemeja flanel, sneakers, young adult rider, diakhiri nongkrong di skate ramp di backyard rumah teman. It’s trying to serve every single cool things to attract the emerging market. Belakangan mereka malah mulai lebih dalam mengangkat profil para penggiat custom roda dua, seperti builder, fotografer dan seniman roda dua sebagai salah satu bagian dari campaign Roll Your Own mereka. Sekilas akan terlihat sangat cheesy, tapi bayangkan impact-nya terhadap pelaku custom scene di Amerika misalnya. Apabila HDMC tidak mengarah kesana mungkin foto-foto karya seorang Josh Kurpius tidak akan terpampang dalam sebuah solo exhibit di Harley Davidson Museum, atau motor-motor karya Scott “T-Bone” Jones (Noise Cycles) dan Brandon Holstein aka Brawny Built yang juga sempat di display di Harley Davidson Museum. Memang sih, tanpa harus masuk sebagai exhibitor di Harley Davidson Museum nama mereka di scene sebenernya sudah “jadi”. Tetapi menurut gue, pengakuan dari brand sebesar Harley Davidson akan karya-karya mereka yang memang selama ini berkutat di product Harley Davidson pasti berarti bagi mereka.

 

IT’S NOT PRADA, IT’S A CHOPPER!!

Diatas kita sudah sedikit membahas dari point of view pelaku dan penggiat budaya roda dua. Satu hal yang menarik lagi adalah para penikmatnya. Seperti yang sudah disebut diatas bahwa terjadi pergeseran value dan profil demografis penikmat budaya roda dua. Sebenernya sih ini sudah bukan hal baru dan sudah terjadi sejak era 90-an. Bahwa di era tersebut, budaya roda dua yang identik dengan golongan pekerja, bahkan kriminalitas, mulai menjadi menarik bagi golongan menengah ke atas. Bukan berarti di masa-masa sebelumnya tidak ada, sudah ada, tetapi mungkin jumlahnya tidak sebanyak sekarang dan motivasinya memang pure passion, tidak pretensius.

Kalau untuk saat ini motivasinya sendiri sudah semakin beragam; bisa sebagai simbol pencapaian pribadi, sebagai alat untuk networking dan melancarkan bisnis seperti halnya olah raga golf, atau bahkan sekedar untuk prestis dan hanya ikut-ikutan saja. Disini lah letak pergeseran value itu, saat ini (bagi sebagian orang) motor tidak lagi menjadi passion dan life style yang di anut dengan taat, tetapi sekedar menjadi hottest fashion item. Sama halnya seperti designer’s bag atau sneakers. Bahkan sebuah label fashion asal Prancis, Christian Dada di Paris Fashion Week 2016, memboyong beberapa motor custom ke catwalk untuk menunjang tampilan koleksi pria Spring/Summer mereka yang temanya… motor tentu saja.

Apabila dulu orang berkendara karena ingin menikmati the throttle twisting sensation dan pengalaman berkendara itu sendiri, saat ini mungkin terlihat stylish dan fashionable di saat berkendara menjadi lebih penting. Mana tau difoto dan bisa di upload di social media kan keren ya. Mudahnya pertukaran arus informasi pun memudahkan kita untuk mencari referensi dan menjadikan segalanya lebih instan. Disini gue tidak sedang nyinyir atau mendiskreditkan golongan tertentu, tetapi hanya menyampaikan fakta bahwa sebesar itu trend ini sedang berkembang di seluruh dunia sehingga budaya ini mampu menjadi magnet besar yang menarik segala hal yang berputar di sekelilingnya. Apakah lalu semua itu menjadi salah? Apakah karena kalian (menganggap) diri kalian lebih true dibandingkan dengan yang lain maka yang lain hanya sekedar poser? Gue melihatnya sih sah-sah aja, dengan banyaknya orang yang tertarik mencoba dan mendalami budaya yang kita cintai ini, selain menjadikan industrinya dapat tumbuh, juga menjadi ajang regenerasi. Perkara berapa banyak yang akan bosan dan pindah ke trend berikutnya bukan menjadi masalah penting, toh pasti akan banyak juga yang memang benar-benar memiliki passion yang tulus kepada budaya roda dua. Jadi semacam seleksi alam lah kira-kira.

Bisa memiliki motor keren yang harganya ratusan juta atau tampil “kalcer” dalam setiap kesempatan berkendara bukanlah hal sulit apabila memang kita memiliki resources-nya, tetapi menjaga “flare” terhadap motor tersebut yang akan menjadi sulit bagi para poser. Contohnya bisa kita ambil dari kalangan sosialita lokal aja. Belakangan semakin banyak para sosialita yang main motor, baik orisinalan aja, yg penting punya motor keren, sampai yang mainnya kedaleman ke ranah motor custom. Selama memang mereka menikmatinya, kenapa tidak? Apabila (sebagian) dari mereka sekedar menganggap motor sebagai the hottest fashion item untuk saat ini, then be it!! Because if you’re into motorcycle that much, you wouldn’t have the time to give a flying fukk for the less important things. GO OUT AND RIDE!!!

 

Oleh Wira Bakti.
Disclaimer: Photos taken from various sources on the net. Not ours.

Sekepalaspal.com. 2016. All rights are reserved.

PILIH JAM PEMUTARAN

Kamu hanya bisa memilih satu dari enam kali pemutaran yang tersedia.

 

 

DAPATKAN TIKETNYA DENGAN MENGISI FORM DI ATAS

Kami mempunyai 60 tiket nonton film gratis yang bisa kamu menangkan. Kami alokasikan tiket-tiket tersebut sebanyak 10 tiket di tiap jam pemutaran. Kapasitas mini theater kami adalah sebanyak 78 kursi per pemutaran. Silakan daftar di bawah ini, dan pilih jam pemutaran film yang kamu inginkan. Para pemenang akan diacak dan hanya para pemenang yang beruntung yang akan mendapatkan email konfirmasi dari kami. Untuk yang belum beruntung, kamu bisa membeli tiket di outlet penjualan tiket seharga Rp 25.000.

OUTLET :

Lawless Jakarta, Jl. Kemang Selatan 8 No.67K

 

7 AGUSTUS 2016 - JOGLO
JERUK PURUT COMPOUND

Sebuah film semi dokumenter tentang budaya custom roda dua dan perjalanan yang tak terlupakan. 1000 Kilometer mengisahkan tentang 3 teman baik yang terinspirasi oleh Sekepal Aspal photography book dan memutuskan untuk melibas jalanan Jawa sampai Bali untuk menemui secara langsung beberapa tokoh yang terdapat di dalam buku itu. Film ini menggabungkan komprehensi sejarah budaya custom roda dua lokal dan modernisasinya, dengan keseruan petualangan khas Indonesia dan latar alamnya yang indah.

Dibintangi oleh: Syafwin Ramadhan Bajumi, Yusuf Abdul Jamil, Raihan Ahmad Ramdhani
Sutradara: Ilham Nuriadi
Penulis: Sammy Bramantyo
Produser: Adita K Bramantyo
Eksekutif Produser: Roni Pramaditia, Rizky Rosianto, Rahmat Wirabakti, Sammy Bramantyo
Produksi: Sekepal Aspal

Alamat Kantor

SEKEPAL ASPAL
JL. KEMANG SELATAN 8 NO.63 B3
JAKARTA SELATAN 12730

 

Business Hour
Mon - Fri : 09.00AM - 17.00
Sat - Sun : 09.00 - 15.00

 

Media

Kirim Pesan